Banjarmasin | Esai. Ketika libur tiba, waktu seolah menanggalkan sepatu resminya. Ia berjalan tanpa tergesa, menyusuri hari-hari dengan langkah ringan, membiarkan detik-detik bernapas lebih panjang. Tidak ada bunyi alarm yang mengiris subuh, tidak ada jadwal yang menekan dada. Yang tersisa hanyalah ruang—ruang untuk menunda, ruang untuk memilih, dan ruang untuk kembali menjadi manusia seutuhnya.
Libur bukan sekadar jeda dari kerja atau rutinitas; ia adalah peristiwa batin. Di hari-hari biasa, kita hidup dalam daftar: target, tenggat, dan ekspektasi. Saat libur datang, daftar itu runtuh perlahan, digantikan oleh keinginan yang lama terpendam : membaca buku yang tak selesai, menyeduh kopi dengan sabar, menatap hujan tanpa perlu alasan. Kita belajar bahwa produktivitas bukan satu-satunya ukuran nilai diri. Ada kebajikan lain yang sering terabaikan: hadir sepenuhnya.
Di rumah, libur mengembalikan benda-benda ke fungsinya yang paling manusiawi. Meja makan menjadi tempat cerita, bukan sekadar transit. Kursi sudut kembali menjadi saksi lamunan. Jendela bukan lagi bingkai kota yang dilewati cepat, melainkan panggung kecil bagi cahaya pagi. Di sana, kita menyadari bahwa kebahagiaan kerap berdiam pada hal-hal yang tidak mengumumkan diri: tawa yang pecah tanpa rencana, sunyi yang menenangkan, dan rasa cukup yang tak perlu pembenaran.
Namun libur juga menguji kita. Tanpa jadwal, kita berhadapan dengan diri sendiri, dengan kebiasaan menunda, dengan kecemasan yang dulu tertutup kesibukan. Ada yang merasa hampa, seolah kehilangan kompas. Tapi justru di situlah libur bekerja paling jujur: ia membuka cermin. Ia mengajak kita bertanya, apa yang sebenarnya kita kejar?. Apa yang ingin kita rawat setelah libur usai?. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak meminta jawaban cepat; ia cukup minta didengar.
Bagi sebagian orang, libur adalah perjalanan. Bukan semata berpindah tempat, melainkan berpindah sudut pandang. Laut mengajarkan kesabaran, gunung mengajarkan ketekunan, dan kota asing mengajarkan empati. Setiap langkah membawa pulang pelajaran yang tak bisa disimpan di koper, hanya di ingatan dan dalam sikap.
Pada akhirnya, libur adalah seni mengelola kembali waktu. Bukan untuk menghabiskannya, melainkan untuk memulihkannya. Ia memberi kesempatan menyusun ulang ritme hidup, agar saat hari biasa kembali, kita tidak sekadar bergerak, tetapi melangkah dengan kesadaran. Libur yang baik tidak membuat kita lupa tanggung jawab, ia membuat kita kembali dengan alasan yang lebih jernih untuk bertanggung jawab.
Maka ketika libur tiba, biarkan ia terjadi sepenuhnya. Jangan buru-buru mengisinya dengan kebisingan baru. Dengarkan tubuh, sapa pikiran, dan rawat hubungan dengan sesama, dengan alam, dan dengan diri sendiri. Karena dari jeda yang dirawat, lahir energi yang bertahan lama.
“Almost everything will work again if you unplug it for a few minutes… including you.” (Anne Lamott)
Anonim, Penghujung pergantian hari, 23/12/2025.